RSS

The Happiness

27 Aug

Pintu kamar kosku diketuk. Wanita itu sudah menunggu sekitar 5 menit di depan pintu sebelum akhirnya aku terbangun dan membukanya. “Sorry ya, semalem abis begadang ngerjain tugas Sistem Basis Data, deadline-nya siang ini.” Maafku sambil menggaruk rambut yang gondrong dan acak-acakan. Bibir cemberutnya seketika hilang dan berganti dengan senyuman manis dan sodoran roti isi dalam Tupperware yang ia bawa, “Nih, bikinnya pake cinta.” 


Dia kadang-kadang datang membawakanku sarapan bila tidak sedang ada kelas pagi. Sekali waktu nasi goreng, lalu roti isi, pernah juga kue kering dan coklat. Tentu saja itu lebih dari cukup untuk membuatku memberikan perhatian yang lebih padanya. “Aku mandi dulu, abis itu kita sarapan bareng.” 


Sudah beberapa minggu ini kita dekat. Mendapatkan perhatian-perhatian sederhana darinya, seperti SMS berisi “Gimana hari ini?”, “Makan bareng yuk”, atau ungkapan “Senyum dong, buat aku.” Dan panggilan-pangilan sayang yang menggelitik pankreas membuatku heran, seperti ada kupu-kupu dalam perutku. 


Ketika aku kembali dari kamar mandi, ia baru saja selesai menyeduh dua gelas susu kental manis menggunakan air panas dari teko listrik plastik yang kemarin baru kubeli di Borma; teko yang lama hangus meleleh karena aku ketiduran saat memanaskan air malam sebelumnya. Entah kenapa aku belum terpikir untuk membeli water dispenser. 


“Kalo ke Pasar Baru terus ke Plaza Parahyangan terus ke Ciwalk, terus balik lagi ke kosan ini, udah bisa pulang pergi nih. Saking kamu lama mandinya.” Cerocos dia sambil mengaduk gelas susu. 


“Tapi kamu tetap sayang kan? Celetukku sambil siap menghindar kalau-kalau dia melemparkan gelas susu yang sedang ia pegang ke arah wajahku.
Untungnya bukan gelas susu yang mendarat di wajahku, tapi telapak tangannya yang hangat mengelus lembut dengan halus pipiku yang masih dingin selesai mandi. Tatapan dan senyuman yang merekah itu kuartikan ‘Ya’.


Entah apa yang ia lihat. Seorang pria dalam masa emerging adulthood dengan tampang biasa-biasa saja dan tidak terlalu agresif seperti aku ini bukan tipe senior yang biasanya diidolai adik tingkat. Perasaan awkward tapi somehow senang berbunga-bunga ini sudah lama tak kurasakan, ternyata ada seseorang yang menganggap diriku spesial.

Kekagumanku padanya juga sudah muncul sejak pertama kali berkenalan. Banyak kesamaan yang membuat obrolan kita nyambung. Anime, Cosplay, dan hal-hal berbau Jepang lainnya. Movie date pertama kita bahkan nonton film Battle Royale. “Boljug nih cewe.” gumamku dalam hati. Kita bahkan sudah merencanakan untuk datang bersama dan ikut beberapa kontes di acara Japanzuki tahun depan, walau acara tahunan anak Sastra Jepang itu baru akan diadakan beberapa bulan lagi.

Apakah karena dia anak Fakultas Bahasa, jadi sangat mahir untuk merangkai kata-kata yang membuat pria jatuh hati padanya. Apakah mungkin karena ayahnya dosen di Fakultas Bahasa juga, kemampuannya jadi kuadrat? Atau mungkin aku saja yang jam terbang dalam masalah percintaannya masih cetek. Belum terlalu berpengalaman. Entahlah. My heart under attack, hatiku luluh.

Hari ini kuputuskan untuk mengutarakan perasaanku dan memperjelas status hubungan kita. Aku tak tahu harus berbuat apa, ketika ia meneteskan air mata dan diam cukup lama sebelum mengiyakan pertanyaanku.

—-

Saat kau jatuh cinta, melihat batu kerikil di jalan menuju rumahnya saja bisa membuat hatimu bersuka cita.

Jarak antara kampus dan kosanku dapat ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 5 sampai 10 menit dengan banyak jalur alternatif. Usai kelas Pemrograman Internet, sore ini aku berinisitif untuk pulang melewati depan rumahnya yang terletak di komplek perumahan dosen dalam area kampus. Butuh jalan memutar dari gedung fakultasku untuk melewati rumahnya.

Berlebihan memang, tapi jantungku berdebar makin kencang walau jarak menuju jalan depan rumahnya masih sekitar 100 meter. Dalam pikiranku, walaupun tak berkabar akan pulang lewat depan rumahnya, bila sudah jodoh dan hati kita satu frekuensi, mungkin kita akan bertemu.

Dari perempatan jalan terlihat dua sosok yang sedang bercengkrama. Dua-duanya kukenali. Yang pertama adalah wanita itu, kekasihku. Yang satu lagi adalah teman pria sekelasnya, namanya mirip seperti salah satu jenis minuman, pernah dikenalkan oleh wanita itu ketika kita bertemu beberapa waktu lalu saat aku menjemputnya usai kelas Struktur und Wortschatz. Dari kejauhan dapat terlihat jelas, mereka berdua tampak bahagia. Tatapan itu, tatapan mata yang sama ketika ia melihatku. Senyuman itu, senyuman yang sama ketika ia sedang bersamaku. Sentuhan itu, sentuhan yang sama ketika ia sedang menyentuhku. Tapi sore ini semuanya diberikan pada pria itu, teman sekelasnnya, bukan aku.

Sore ini jadi kelabu. Untuk pertama kalinya terjadi dalam hidup, aku merasakan ada api yang membara dalam dada. Bila ini adalah sebuah FTV, maka saat inilah lagu yang sedang hits—HELLO – Ular Berbisa— dimainkan jadi backsound saat aku berjalan dengan cepat melewati mereka berdua. Napas menderu, berusaha ingin segera berada sejauh mungkin dari tempat itu. Teman satu jurusan, Risna, yang pulang bersamaku karena kosannya searah dengan kosanku kutinggalkan di belakang. Sayup-sayup dari kejauhan kudengar dia berteriak “Woy, Ki. Tungguan. Kunaon maneh?” Dengan logat pemuda Ciamisnya yang lekoh. Memang belum banyak yang tahu tentang hubunganku dengan wanita itu, hanya segelintir orang saja. Kita baru resmi satu minggu. Tu-juh-ha-ri.

Kejadian-kejadian kecil yang tak kuambil pusing saat bersamanya selama ini kembali bermunculan dalam ingatan. Sikap aneh teman-teman sekelasnya ketika aku diperkenalkan. Sikapnya yang tiba-tiba berubah ketika membicarakan teman laki-laki sekelasnya, dan masih banyak yang lainnya. Keping-keping puzzle yang tadinya berserakan karena intuisiku terlumpuhkan perasaan, kini tersusun rapi.

Kusempatkan beli sate ayam dengan ekstra lontong di sebrang kosan untuk makan malam. Merasakan kemarahan, kecewa, ditambah emosi jiwa ternyata menguras energi juga, lapar. Walaupun sate ayam langganan yang biasanya enak malam ini terasa sangat hambar.

Panggilan telponnya tak kuangkat, SMS darinya tak kubalas. Ia terus mencoba menghubungiku sampai keesokan harinya. Aku tak butuh penjelasan, semuanya sungguh terlalu jelas, bahkan dari awal pertemuan kita. Aku saja yang terlalu naif untuk menyadarinya. Aku ingin lupa, tak ingin melihat dan menyebut namanya lagi. Aku bahkan tak ingin ingat jika kita pernah berjumpa.

Bahagia lalu tersiksa. Gembira lalu terluka. Semuanya terlalu cepat, semuanya terlalu sakit. Namaku Rifki Candra Garniwa. Pandanganku tentang cinta kini menjadi berbeda.

*Cerita ini hanya fiktif belaka, bila ada kesamaan nama, tokoh dan tempat, semuanya hanya kebetulan yang disengaja.

 
Leave a comment

Posted by on August 27, 2020 in Story

 

Leave a comment